[ Blognya Sony Asgar...]

Tuesday, September 07, 2004

PON...lho kok?

Dulu….(pake banget gak ya???, nggak aza deh, kalo pake banget rasanya saya jadi tua banget juga :)) pokoknya zaman-nya saya berseragam putih merah, putih biru, sampe dengan beberapa tahun berseragam putih abu-abu. Pada zaman-zaman itu saya paling seneng melihat acara-acara olahraga di televisi yang waktu itu hanya punya satu stasiun saja. Dan ketika sebuah multi event digelar –entah itu PON, SEA Games, Asean Games, ataupun Olympiade- kepuasaan saya menyaksikan acara-acara olahraga itu semakin terasa karena stasiun televisi yang hanya satu itu begitu memanjakan. Pagi hari udah ada siaran khusus (stasiun ini nambah jam tayang siarannya pada saat ada multi event olahraga) baik tunda maupun langsung, pun demikian pada sore harinya, setelah itu di tambah dengan jurnal yang ditayangkan setiap malam. Alhasil saya jadi sering kesiangan sekolah dan jadi berlari-lari ketika pulang tatkala sekolah masuk siang hari.

Akan tetapi ketika kini Pekan Olahraga Nasional ke XVI digelar disaat teknologi makin berkembang, UU penyiaran diperbaharui, stasiun TV tumbuh bagai jamur di musim hujan (saat ini udah ada 11 biji tidak termasuk televisi daerah), dan ketika prestasi atlet-atlet nasional kita makin tertinggal, acara eksklusif pesta olah raga -baik nasional maupun internasional- semakin tersisih. Hanya diselipkan di sela-sela berita politik, ekonomi, hiburan, dan kriminalitas. Sampai-sampai kita hanya bisa dengar, baca, dan liat cuplikan angka terakhir saja ketika Taufik Hidayat mempertahankan tradisi emas Olympiade. Lalu, sudah tidak pantaskah perjuangan atlet-atlet kita diapresiasi oleh masyarakat kita sendiri? Tidak perlu lagikah atlet-atlet kita dimotivasi dengan kesempatan tampil di layar kaca?

Lagi-lagi saya harus menyalahkan kapitalis yang sudah begitu kuat menancapkan kukunya di dunia penyiaran. Hitungan untung rugi jadi pertimbangan utama. Angka rating jadi acuan pertama. Ketika acara itu dianggap tidak komersil, ya sudah, dieliminasi saja! Jadilah wajah atlet-atlet kita tersingkirkan oleh wajah-wajah pemerkosa, pencopet, perampok, pelacur, dan pemadat. Jadilah wajah-wajah atlet-atlet kita tersisihkan oleh hantu-hantu bohongan, ketakutan yang dibikin-bikin, kemusrikan-kemusrikan yang menggusur masyarakat kembali ke jaman batu, dan tahyul-tahyul yang menenggelamkan rasionalitas. Jadilah wajah atlet-atlet kita terpinggirkan oleh wajah-wajah pemeran drama picisan, gosip-gosip perselingkuhan, perceraian, dan pertikaian orang tua dengan anak. Jadilah sebuah ironisme. Tak ada lagikah keinginan untuk berkorban dan tidak berhitung untung rugi???

Rasanya…kalau sila pertama Pancasila bukanlah Ketuhanan Yang Maha Esa, acara kuliah subuh dan alunan adzan maghrib-pun mungkin sudah lama tidak ada di televisi kita.