Tentang Izal dan Maya : Lagi - Sebuah Triler
Hati Izal berdebar-debar tak karuan. Perasaannya sangat campur aduk bak gado-gado special plus keju dan kornet (kayaknya ini resep baru). Ada rasa kangen, ada rasa benci, ada rasa senang, ada rasa marah, ada rasa lelah, ada rasa gelisah, dan juga ada rasa takut. Hampir semua rasa ada di dada Izal, hanya rasa soto mie dan rasa kaldu ayam saja yang tidak nampak di sana, ketinggalan di kosnya Izal.
Dan debar-debar di dada Izal semakin kencang dalam detik-detik penantian. Semakin lama semakin kencang dan akhirnya berhenti sama sekali karena…jantungan! Eh salah, debaran di hati Izal berhenti beberapa saat tatkala pintu villa terbuka dan menampakkan wajah Maya. Wajah mantan kekasihnya yang malam itu terlihat sangat cantik, lebih cantik dari yang biasa Izal lihat. Apalagi saat itu rambut Maya dibiarkan basah tergerai jatuh menutupi punggung. Rambut basah sehabis keramas yang sangat Izal sukai. Wangi sampo pada rambut itu membuat hati Izal yang berhenti berdetak kembali berdebar-debar dan membangkitkan sisi romantisnya.
Izal bengong. Maya juga bengong. Ia tak menyangka Izal akan menyusulnya.
Hening, ada sedikit kecanggungan. Hanya mata mereka yang saling berpandangan memancarkan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh meraka berdua.
“Izal…,” Maya memecah keheningan dan kecanggungan.
“Maya...”
“Izal…”
“Maya…”
Dan di saat-saat seperti itu naluri yang bersemayam di jiwa Izal turut bangkit mengikuti sisi romantismenya. Oleh nalurinya mata Izal kemudian dituntun mencari sebuah tiang atau sebatang pohon. Beruntung di dalam villa tidak terdapat tiang ataupun pohon, karena kalau kedua benda tersebut tersedia di sana dapat dipastikan sebuah adegan klise tak akan bisa dihindari lagi.
Izal akan segera berlari menuju tiang tersebut, menggelendotinya sambil memutarinya sebanyak tiga putaran, kemudian meluncurlah lagu Kuch-Kuch Hota Hai dari bibir Izal. Lalu yang diharapkan Izal Maya akan berlari ke arah tiang tersebut, menggelendotinya juga, memutarinya sebanyak tiga kali, mendekatkan wajahnya ke wajah Izal, dan menyanyikan bait lain dari lagu Kuch-Kuch Hota Hai.
Itulah sisi romantisme tertinggi seorang Izal, cukup sederhana buat divisualisasi, persis film India.
“Nyari tiang ya?” tanya Maya.
“He-eh…” jawab Izal malu-malu.
“Nggak ada.”
“Pohon ada?”
“Ada, di luar.”
“Malu ah, ntar diliatin orang sekampung.”
“Pake tembok aja, gaya Reza, lagunya Pertama...”
Izal berpikir sejenak. Namun akhirnya ia menggelengkan kepala. Ada dua pertimbangan utama kenapa Izal menolak tembok sebagai sarana ekspresi sisi romantisnya.
1. Materi, ada esensi yang hilang, gerakan berputar sebagai salah satu unsur penting penghayatan menjadi hilang.
2. Fisik, mengingat tubuhnya yang ambigu dan bahkan sudah mendekati kurus kering, Izal takut bokongnya akan semakin tepos karena banyak bergesekan dengan tembok.
Dan debar-debar di dada Izal semakin kencang dalam detik-detik penantian. Semakin lama semakin kencang dan akhirnya berhenti sama sekali karena…jantungan! Eh salah, debaran di hati Izal berhenti beberapa saat tatkala pintu villa terbuka dan menampakkan wajah Maya. Wajah mantan kekasihnya yang malam itu terlihat sangat cantik, lebih cantik dari yang biasa Izal lihat. Apalagi saat itu rambut Maya dibiarkan basah tergerai jatuh menutupi punggung. Rambut basah sehabis keramas yang sangat Izal sukai. Wangi sampo pada rambut itu membuat hati Izal yang berhenti berdetak kembali berdebar-debar dan membangkitkan sisi romantisnya.
Izal bengong. Maya juga bengong. Ia tak menyangka Izal akan menyusulnya.
Hening, ada sedikit kecanggungan. Hanya mata mereka yang saling berpandangan memancarkan bahasa yang hanya bisa dimengerti oleh meraka berdua.
“Izal…,” Maya memecah keheningan dan kecanggungan.
“Maya...”
“Izal…”
“Maya…”
Dan di saat-saat seperti itu naluri yang bersemayam di jiwa Izal turut bangkit mengikuti sisi romantismenya. Oleh nalurinya mata Izal kemudian dituntun mencari sebuah tiang atau sebatang pohon. Beruntung di dalam villa tidak terdapat tiang ataupun pohon, karena kalau kedua benda tersebut tersedia di sana dapat dipastikan sebuah adegan klise tak akan bisa dihindari lagi.
Izal akan segera berlari menuju tiang tersebut, menggelendotinya sambil memutarinya sebanyak tiga putaran, kemudian meluncurlah lagu Kuch-Kuch Hota Hai dari bibir Izal. Lalu yang diharapkan Izal Maya akan berlari ke arah tiang tersebut, menggelendotinya juga, memutarinya sebanyak tiga kali, mendekatkan wajahnya ke wajah Izal, dan menyanyikan bait lain dari lagu Kuch-Kuch Hota Hai.
Itulah sisi romantisme tertinggi seorang Izal, cukup sederhana buat divisualisasi, persis film India.
“Nyari tiang ya?” tanya Maya.
“He-eh…” jawab Izal malu-malu.
“Nggak ada.”
“Pohon ada?”
“Ada, di luar.”
“Malu ah, ntar diliatin orang sekampung.”
“Pake tembok aja, gaya Reza, lagunya Pertama...”
Izal berpikir sejenak. Namun akhirnya ia menggelengkan kepala. Ada dua pertimbangan utama kenapa Izal menolak tembok sebagai sarana ekspresi sisi romantisnya.
1. Materi, ada esensi yang hilang, gerakan berputar sebagai salah satu unsur penting penghayatan menjadi hilang.
2. Fisik, mengingat tubuhnya yang ambigu dan bahkan sudah mendekati kurus kering, Izal takut bokongnya akan semakin tepos karena banyak bergesekan dengan tembok.